Uncategorized

Tanggapi JK, Yusril Tegaskan Perjanjian Helsinki Tak Bisa Jadi Dasar Hukum Sengketa Empat Pulau Aceh-Sumut

Perselisihan perbatasan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara mengenai empat pulau kecil, yakni Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Tokaka, telah menimbulkan perhatian publik dan polemik di kalangan elite. Masalah ini kian menghangat ketika mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyarankan bahwa Perjanjian Helsinki tahun 2005 yang menjadi landasan perdamaian Aceh, bisa dijadikan rujukan untuk menyelesaikan konflik administratif ini.

Namun, pernyataan tersebut langsung ditanggapi oleh mantan Menteri Hukum dan HAM sekaligus pakar hukum tata negara, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, yang menyatakan bahwa Perjanjian Helsinki tidak bisa menjadi dasar hukum dalam menyelesaikan sengketa kewilayahan antarprovinsi karena tidak memiliki kekuatan mengikat dalam konteks hukum positif Indonesia.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam akar permasalahan, pendapat tokoh, perspektif hukum, serta dampak sosial-politik yang timbul dari polemik ini.

Perjanjian

Latar Belakang Perjanjian Helsinki

A. Perdamaian Pasca Konflik Berkepanjangan

Perjanjian Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kesepakatan itu mengakhiri konflik bersenjata selama lebih dari tiga dekade yang menewaskan puluhan ribu jiwa dan menghancurkan infrastruktur di Aceh.

Perjanjian ini mencakup beberapa poin penting, antara lain:

  • Pengakuan Aceh sebagai daerah yang memiliki status khusus.
  • Pembentukan Partai Politik lokal.
  • Penarikan pasukan TNI non-organik dari Aceh.
  • Pengelolaan sumber daya alam oleh Pemerintah Aceh.
  • Penegasan batas wilayah Aceh sesuai peta yang tercantum dalam perjanjian.

B. Apakah Perjanjian Helsinki Setara Konstitusi?

Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Perjanjian Helsinki bukanlah dokumen yang memiliki kedudukan hukum setara konstitusi atau undang-undang. Menurutnya, perjanjian ini hanyalah kesepakatan politik antara dua pihak yang kemudian menjadi dasar pertimbangan penyusunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).


Sengketa Empat Pulau: Akar Masalahnya

A. Lokasi Geografis dan Kepentingan Strategis

Keempat pulau yang dipermasalahkan terletak di sekitar perairan Selat Malaka, antara Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Posisi geografis ini cukup strategis baik dari sisi kelautan, perikanan, hingga potensi migas di sekitarnya.

Aceh mengklaim bahwa pulau-pulau tersebut masuk dalam wilayahnya berdasarkan peta dan interpretasi dari Perjanjian Helsinki. Sementara itu, Pemerintah Sumatera Utara dan Kabupaten Langkat menyebut pulau-pulau itu sebagai bagian dari wilayah administratif mereka sejak lama berdasarkan peta resmi dari Badan Informasi Geospasial (BIG) dan dokumen lama lainnya.

B. Munculnya Ketegangan di Lapangan

Ketegangan terjadi ketika masyarakat dan aparat di masing-masing wilayah mulai saling mengklaim otoritas atas pulau tersebut. Ada laporan pemasangan plang, penjagaan oleh satuan pengamanan lokal, dan bahkan pembangunan infrastruktur dasar seperti pos pantau dan tempat ibadah yang diklaim oleh kedua belah pihak.


Pernyataan Jusuf Kalla dan Respons Yusril

A. Jusuf Kalla: “Rujuk Saja ke Helsinki”

JK, yang berperan penting dalam mediasi damai antara RI dan GAM, berpendapat bahwa jika wilayah Aceh dikembalikan sesuai dengan Perjanjian Helsinki, maka tidak seharusnya ada pergeseran batas. Menurutnya, pulau-pulau itu semestinya berada dalam otoritas Aceh sesuai dengan peta yang disepakati dalam perjanjian tersebut.

JK menilai bahwa tidak elok jika pemerintah pusat atau daerah justru memicu gesekan baru di wilayah yang telah damai dengan susah payah.

B. Yusril: “Perjanjian Helsinki Tak Punya Daya Ikat Hukum”

Yusril menegaskan bahwa Perjanjian Helsinki adalah political agreement, bukan treaty internasional yang ratifikasinya melalui DPR. Ia menyoroti bahwa sumber hukum tata negara adalah konstitusi dan peraturan perundang-undangan, bukan perjanjian yang bersifat informal.

Menurutnya, sengketa ini harus diselesaikan melalui mekanisme hukum administrasi yang berlaku, dengan merujuk pada keputusan Presiden atau Kementerian Dalam Negeri dan peta wilayah resmi yang diakui negara.


Perspektif Hukum Administrasi dan Tata Negara

A. Batas Wilayah Diatur oleh Pemerintah Pusat

Menurut hukum positif di Indonesia, batas wilayah antarprovinsi ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui regulasi resmi. Tidak ada satu pun perjanjian politik yang dapat mengubah itu tanpa proses legislasi dan pengesahan yang sah secara konstitusional.

Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah menjadi acuan teknis dan prosedural dalam penentuan batas wilayah yang sah.

B. Peran BIG dan Pemetaan Nasional

Badan Informasi Geospasial (BIG) adalah institusi yang berwenang membuat peta resmi negara. Dalam kasus sengketa ini, BIG menjadi institusi yang harus menyajikan data historis, teknis, dan yuridis mengenai batas wilayah keempat pulau.

Jika Aceh memiliki peta yang bertentangan dengan peta nasional, maka perlu dilakukan verifikasi dan harmonisasi melalui koordinasi kementerian terkait.


Dinamika Politik Daerah dan Sentimen Identitas

A. Masyarakat Aceh dan “Hak Sejarah”

Sebagian masyarakat Aceh menilai bahwa keempat pulau tersebut telah menjadi bagian dari Aceh bahkan sebelum integrasi wilayah Indonesia modern. Sentimen ini diperkuat oleh narasi “pengabaian sejarah” yang sering dimunculkan ketika Aceh merasa dipinggirkan dalam kebijakan nasional.

B. Potensi Konflik Horizontal

Jika tidak segera diselesaikan, konflik ini berpotensi berkembang menjadi konflik horizontal antarwarga. Apalagi jika isu ini dimanfaatkan oleh aktor politik lokal untuk kepentingan elektoral, maka perpecahan sosial bisa saja semakin dalam.


Upaya Penyelesaian dan Mediasi Pemerintah Pusat

A. Pembentukan Tim Penegasan Batas Wilayah

Kementerian Dalam Negeri telah membentuk tim khusus lintas kementerian untuk melakukan mediasi antara Pemprov Aceh dan Sumut. Tim ini bertugas mengkaji semua dokumen administratif, data historis, serta melakukan survei lapangan.

B. Mekanisme Judicial Review Jika Diperlukan

Jika salah satu pihak merasa dirugikan oleh keputusan administratif, maka mereka bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, tergantung pada objek sengketa. Ini adalah jalan konstitusional yang bisa ditempuh tanpa harus menimbulkan instabilitas.


Pandangan Akademisi dan Masyarakat Sipil

A. Ahli Hukum: Jangan Campuradukkan Politik dan Hukum

Sejumlah akademisi dari UGM, UI, dan Unsyiah menyampaikan bahwa mengacu pada Perjanjian Helsinki untuk urusan batas wilayah adalah tindakan keliru secara hukum. Mereka mendukung penyelesaian melalui pendekatan hukum tata negara dan administrasi publik.

B. LSM: Transparansi dan Partisipasi Publik Harus Dijaga

LSM lokal menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dan transparansi proses penyelesaian. Mereka khawatir jika proses hanya dilakukan oleh elite pemerintah, maka hasilnya bisa menimbulkan kecurigaan dan ketidakpuasan.


Penutup: Jalan Tengah untuk Persatuan

Polemik tentang empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara bukan hanya soal batas administratif, melainkan juga menyentuh soal sejarah, identitas, dan kedaulatan lokal. Namun dalam negara hukum, setiap penyelesaian harus berdasar pada konstitusi dan hukum positif yang berlaku.

Pernyataan Jusuf Kalla sebagai tokoh perdamaian memang patut dihargai sebagai niat baik untuk menjaga stabilitas. Namun, seperti yang ditegaskan Yusril Ihza Mahendra, negara ini harus berjalan berdasarkan hukum, bukan semata perjanjian politik yang tak memiliki daya ikat yuridis.

Ke depan, penyelesaian masalah ini harus dilakukan dengan pendekatan holistik: mempertimbangkan hukum, aspirasi masyarakat, serta menjaga persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca Juga : Baguna PDI Perjuangan Gelar Pemeriksaan dan Pembagian Kacamata Gratis di Bundaran HI: Wujud Nyata Kepedulian Sosial Partai

Related Articles

Back to top button