Sidang Hasto: Eks Hakim MK Sebut Penghapusan Konten dari Ponsel Bukan Perintangan Penyidikan

Sidang lanjutan terhadap Hasto Kristiyanto sebagai Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan kembali menarik sorotan publik. Kali ini, persidangan digelar untuk mendalami dugaan upaya perintangan penyidikan dalam perkara dugaan suap yang menyeret nama-nama besar dalam pusaran politik nasional.
Salah satu sorotan penting dalam persidangan ini adalah testimoni dari mantan Hakim Mahkamah Konstitusi yang menyebut bahwa tindakan menghapus konten dari ponsel pribadi, secara hukum, tidak serta-merta dapat dikualifikasikan sebagai upaya perintangan penyidikan. Pendapat tersebut menimbulkan beragam tanggapan dari kalangan praktisi hukum dan masyarakat sipil.
Artikel ini akan menyajikan secara mendalam kronologi kasus, jalannya persidangan, analisis pernyataan ahli, respons berbagai pihak, serta kemungkinan dampak terhadap kredibilitas institusi hukum dan partai politik terkait.

Bab I: Latar Belakang Kasus
1.1 Dugaan Suap dan Keterlibatan Hasto
Kasus yang menyeret nama Hasto Kristiyanto bermula dari penyidikan terhadap dugaan suap dalam sengketa Pemilu 2024 yang melibatkan beberapa figur penting, termasuk mantan Komisioner KPU, pengacara, dan staf politik. Nama Hasto masuk dalam radar penyidikan setelah ditemukan adanya komunikasi aktif antara dirinya dan sejumlah pihak yang terlibat dalam upaya mempengaruhi hasil pemilu lewat jalur hukum di Mahkamah Konstitusi.
Pusat perhatian beralih kepada tindakan staf Hasto, Kusnadi, yang disebut-sebut menghapus sejumlah konten dari ponsel dan perangkat elektronik lain ketika dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tindakan ini kemudian memicu kecurigaan adanya upaya perintangan penyidikan atau obstruction of justice.
1.2 Dugaan Perintangan Penyidikan
Perintangan penyidikan adalah tindakan yang secara aktif atau pasif menghambat proses penegakan hukum. Dalam konteks KUHP dan UU Tipikor, perbuatan ini dapat dijerat pasal pidana, terutama jika terbukti sengaja menghilangkan, merusak, atau menyembunyikan barang bukti.
Namun, perdebatan muncul ketika tindakan tersebut dilakukan atas nama “privasi” atau “hak individu atas data pribadi”. Dalam konteks ini, testimoni dari pihak ahli, termasuk eks Hakim MK, menjadi sangat penting.
Bab II: Jalannya Persidangan
2.1 Pemeriksaan Saksi dan Barang Bukti
Sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menghadirkan sejumlah saksi, termasuk Kusnadi, penyidik KPK, ahli forensik digital, serta mantan Hakim Mahkamah Konstitusi. Dalam kesaksiannya, Kusnadi mengaku menghapus beberapa pesan WhatsApp dan dokumen digital atas inisiatif pribadi, tanpa perintah langsung dari Hasto.
Penyidik KPK menyatakan bahwa penghapusan tersebut menghambat proses penyelidikan, sebab berpotensi menghilangkan jejak komunikasi penting terkait skema dugaan suap pemilu. Namun, ahli forensik digital menyebut bahwa sebagian besar data dapat direkonstruksi ulang meski telah dihapus.
2.2 Pernyataan Eks Hakim MK
Salah satu momen krusial dalam sidang adalah saat eks Hakim MK hadir sebagai ahli hukum tata negara. Ia menyampaikan bahwa dalam kacamata hukum, tindakan menghapus konten dari ponsel pribadi tidak bisa langsung dikategorikan sebagai perintangan penyidikan, kecuali dibuktikan bahwa penghapusan tersebut dilakukan dengan niat menghalangi jalannya proses hukum.
Menurutnya, seseorang memiliki hak konstitusional atas privasi dan pengelolaan data pribadinya. Sehingga tindakan menghapus data — selama tidak ada perintah larangan dari penegak hukum atau pengadilan — tidak serta merta menjadi perbuatan pidana.
Bab III: Analisis Hukum
3.1 Perbedaan Antara Hak Privasi dan Obstruction of Justice
Dalam hukum pidana, obstruction of justice mensyaratkan adanya niat jahat (mens rea) dan perbuatan konkret (actus reus). Maka, penghapusan konten yang terjadi sebelum adanya perintah penyitaan atau larangan dari aparat penegak hukum sulit dibuktikan sebagai perbuatan pidana.
Namun, apabila penghapusan dilakukan setelah tersangka diberi tahu bahwa perangkat tersebut akan disita, maka tindakan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk obstruction.
3.2 Perspektif UU ITE dan KUHP
UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) memberikan perlindungan terhadap hak pengguna untuk mengatur dan menghapus datanya. Tapi perlindungan ini tidak berlaku jika data tersebut telah menjadi objek penyidikan hukum.
KUHP pasal 221 dan 223, serta UU Tipikor, dapat digunakan untuk menjerat pelaku obstruction apabila ditemukan bukti kuat adanya kesengajaan. Maka dari itu, pernyataan eks Hakim MK lebih tepat dikaitkan dengan kondisi sebelum penyitaan dilakukan.
Bab IV: Respons Politik dan Publik
4.1 Reaksi dari Partai Politik
PDI Perjuangan merespons pernyataan tersebut dengan menyebut bahwa proses hukum terhadap Hasto terkesan dipaksakan dan bermuatan politik. Mereka menyatakan dukungan penuh terhadap Hasto dan menilai bahwa tidak ada perintah atau upaya dari dirinya untuk menghalangi penyidikan.
Beberapa petinggi partai juga mengingatkan KPK agar tidak menimbulkan kesan tebang pilih atau kriminalisasi terhadap lawan politik menjelang konsolidasi nasional pasca pemilu.
4.2 Sikap Lembaga Hukum dan Pengamat
KPK tetap menegaskan bahwa seluruh tindakan yang menghambat penyidikan harus dikaji secara objektif berdasarkan fakta hukum, bukan opini politik. KPK juga menyatakan telah memverifikasi alat bukti yang cukup untuk menyimpulkan adanya peran aktif dari pihak tertentu dalam upaya obstruction.
Pengamat hukum dari berbagai universitas mengimbau agar publik menunggu putusan pengadilan. Mereka menyatakan bahwa pernyataan eks Hakim MK hanya menjadi salah satu dari banyak perspektif hukum yang harus diuji di pengadilan.
Bab V: Implikasi Terhadap Penegakan Hukum dan Politik Nasional
5.1 Citra Penegakan Hukum
Kasus ini kembali menguji independensi dan profesionalitas KPK dalam menangani kasus yang berpotensi menyeret tokoh besar dari partai penguasa. Jika terbukti bersalah, kasus ini dapat menjadi preseden penting dalam membuktikan komitmen antikorupsi tanpa pandang bulu.
Sebaliknya, apabila kasus ini terbukti lemah secara hukum, maka akan memperkuat dugaan bahwa penegakan hukum telah digunakan sebagai alat politik.
5.2 Dampak terhadap Hasto dan PDIP
Bagi Hasto, kasus ini menjadi ujian berat. Sebagai figur sentral dalam partai, nasib hukumnya akan berdampak pada stabilitas internal PDIP, terutama dalam persiapan menuju pemilihan kepala daerah dan pemilu legislatif 2029.
PDIP sendiri kemungkinan akan menggunakan kasus ini sebagai narasi politik untuk menunjukkan adanya tekanan terhadap kekuatan oposisi dalam internal koalisi pemerintahan.
Bab VI: Penutup dan Refleksi
Kasus dugaan perintangan penyidikan yang menyeret nama Hasto Kristiyanto menunjukkan betapa kompleksnya tarik menarik antara hukum, politik, dan opini publik di Indonesia. Testimoni dari eks Hakim MK yang menyatakan bahwa penghapusan konten dari ponsel belum tentu menjadi obstruction of justice membuka diskursus penting mengenai batas antara hak privasi dan kepentingan penyidikan.
Penegak hukum diharapkan terus bekerja secara profesional dan objektif, sementara masyarakat diimbau untuk tetap kritis namun menghargai proses peradilan yang sedang berjalan.
Kesimpulan
Pernyataan dari eks Hakim MK memberikan warna baru dalam persidangan yang kompleks ini. Ia menekankan pentingnya pembuktian niat jahat dalam kasus dugaan obstruction, yang tidak bisa semata-mata didasarkan pada tindakan teknis seperti penghapusan data.
Kasus ini akan menjadi pengingat penting bagi semua pihak — baik aparat penegak hukum, pejabat publik, maupun masyarakat — bahwa supremasi hukum hanya bisa ditegakkan jika prinsip keadilan, bukti, dan hak asasi manusia dihormati secara seimbang.
Baca Juga : Tanggapi JK, Yusril Tegaskan Perjanjian Helsinki Tak Bisa Jadi Dasar Hukum Sengketa Empat Pulau Aceh-Sumut